Laporan OII juga mencatat, tugas pasukan siber itu adalah menyusun strategi dan teknik propaganda di media sosial, memanipulasi suatu konten, mengambil data secara ilegal, hingga mengerahkan pasukan untuk menekan pihak tertentu, semisal aktivis dan pers.
Sementara itu, semakin banyak pemerintah dan politisi yang menggunakan media sosial untuk memengaruhi proses pemilu, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Meski tak sekeras Pilpres 2014, Pilpres 2019 pun sarat dengan sebaran hoaks. Medium yang paling banyak digunakan adalah media sosial. Facebook masih menjadi tempat favorit.
Studi yang dilakukan Dewi Sad Tanti dan MT Hidayat tentang ‘Ragam dan Pola Sebaran Hoaks Jelang Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019’ mendapatkan, dari 1.467 konten hoaks yang diidentifikasi Kemenkominfo sepanjang Januari-April 2019, sebanyak 58% tersebar di Facebook. Sisanya beredar di Twitter 14%, WhatsApp (WA) 6%, YouTube 2%, dan sejumlah mediun lainnya yang tidak disebutkan.
Di tahun 2019, YouTube masih belum populer. Situasinya akan berbeda di periode pilpres 2024 yang akan kita bahas selanjutnya.
Di periode ini format hoaks paling populer adalah foto dengan caption sebanyak 48%, tulisan saja 15%, video dengan caption 1%, dan berbagai bentuk lainnya yang tidak disebutkan.
Meski sama-sama menyesatkan, namun sebaran hoaks pada pilpres 2014 dan 2019 memiliki tujuan berbeda.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, sebaran hoaks pada pilpres 2014 dan 2019 memiliki tujuan berbeda.
Tujuan hoaks pada pilpres 2014 adalah mengubah persepsi masyarakat terhadap kandidat tertentu, menyerang kandidat tertentu, dan fokusnya untuk saling menjatuhkan antarkandidat.
Hoaks 2014 mampu membuat polarisasi masyarakat yang berdampak pada Pemilu 2019.
Sedangkan, pada Pemilu 2019, hoaks yang beredar tujuannya adalah memelihara polarisasi yang ada karena kontestasi pilpres diikuti oleh kandidat yang sama, yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.