KAWASAN itu tidak memiliki status kepemilikan yang jelas sejak zaman Jepang. Tiga setengah tahun dijajah ‘saudara tua dari Asia’ adalah abnormalitas pertama terhadap administrasi tanah kota.
Tanah-tanah eigendom milik pengusaha swasta Belanda yang namanya sayup-sayup dikenang salah seorang narasumber: pabrik susu dan kandang sapi milik Tuan Farentino terletak di belakang Karet Belakang lenyap berbarengan dengan runtuhnya kuasa Hindia Belanda, 1942. Lokasinya ada di antara Kawi Weg dan Halimoen Weg.
Jepang angkat kaki dan pribumi mengklaim kuasa atas tanah itu dengan memasang patok-patok pembatas sesuka hati mereka. Para pemilik pertama lantas memindahtangankan kuasa tanah itu kepada pribumi-pribumi dari berbagai daerah lain yang datang belakangan. Para pendatang itu kemudian menyusun sentimen komunal dan identitas yang baru khas kampung perkotaan.
Kata ‘kampung’ benar-benar khas Jakarta dan khas Indonesia. Para sarjana asing harus menyebut ‘kampungisasi’ bagi proses migrasi dari daerah ke Jakarta, akan tetapi bukan ke bagian kota yang urbanized. Kampungisasi adalah urbanisasi ke daerah bagian tepi bekas kolonialisasi dan bagian tepi modernisasi yang datang setelahnya.
Di awal 1950-an kawasan itu masih disebut ‘Kawi Sawah’ (era Gubernur Sjamsuridjal, menjabat 1951-1953). Lantas sawah-sawah berubah menjadi rumah-rumah. Membentuk kampung yang lebih patuh kepada satuan administratif daripada satuan etnis: menunjuk ketua RT, ketua RW, di bawah Kelurahan Guntur, Kecamatan Setiabudi.
Zaman merdeka adalah masa pergeseran Kawi Sawah menjadi kampung-kota. Corak budayanya antara urban dan rural, antara bekas kawasan kota kolonial Nieuw Menteng dengan kawasan bisnis segitiga emas Kuningan. Masyarakat multi-etnik, multi-agama tumbuh di situ, mengembangkan logat Melayu khas selatan Jakarta.
Di kampung kota itu tumbuh masjid-masjid dan mekar pula pasar malam di sepanjang Jalan Kawi. Penjual pakaian, mainan anak, buku dan majalah bekas, tas sekolah, kue-kue, bersama deretan toko elektronik, kaset, fotokopi dan lain-lain berjejal bersama para pembeli dari kampung di belakang jalan.
Metromini dan Kopaja pada zamannya menggantikan Medal Sekarwangi yang lebih tua. Bajaj dan juragan bajaj tinggal di tengah kampung. Rumah-rumah membuat saluran-saluran baru ke got-got yang mengarah ke banjir kanal Kali Malang.
Tumbuh pula pasar-pasar: masih berdiri Pasar Manggis peninggalan zaman normal. Pasar Ratna menebar bau pasar antara Jalan Kawi Ratna dan Karet Belakang. Pasar Gembira hampir menyatu dengan perumahan penduduk di dekat Bioskop Gembira. Tumbuh klinik-klinik, dokter-dokter buka praktik.
Bioskop Gembira menggantikan wayang orang di Pasar Ratna. Sekolah-sekolah negeri mulai marak dan mulai pula razia becak era Gubernur Suprapto dilanjut Gubernur Wiyogo. Tukang-tukang becak yang sebagian wajahnya familier berlarian ke sela-sela gang menentang jok becaknya, mereka dikejar-kejar petugas tramtib.
Pengajian ibu-ibu melantangkan wirid dan salawatan ke udara siang. Mayoritas penduduk muslim adalah pengikut paham NU. Belum dikenal Islam trans-nasional, yang agak melawan arus hanya beberapa simpatisan Muhammadiyah dan/atau Persis.
Pasar Rumput yang di zaman Belanda memang betulan menjual rumput untuk kuda sado sudah jadi komplek pertokoan. Sudah ada asrama PM Guntur. Sudah ada Taman Tangkuban Perahu dan Masjid Tangkuban Perahu (direnovasi 2012). Sudah ada Bioskop Raya di Pasar Rumput dan Bioskop Guntur dekat asrama PM Guntur. Kemudian semua bioskop tutup setelah industri film ambruk dan lahir televisi-televisi swasta.
Kuasa Orde Baru lewat tangan-tangan swasta ingin menjangkau daerah itu, meratakannya dan ‘membangun apartemen untuk orang-orang asing’. Demikian kabar yang santer ke telinga warga sebelum penggusuran.
Tawar menawar pun dilakukan. Warga terbelah antara yang butuh dan yang betah. Yang butuh mempertimbangkan kebutuhan ekonomi dan tarif lumayan tinggi yang ditawarkan pengembang. Mereka bisa berpindah ke pinggiran Jakarta untuk membangun hidup yang baru.
Yang betah adalah yang lekat dengan kenangan dan kebersamaan. Ada yang berada di tengah: sudah betah tinggal akan tetapi apa daya tetangga satu demi satu pada pindah, membuat kenangan menjadi tidak utuh.
Satu per satu rumah dirubuhkan, dibeli pengembang. Awal 1990-an kampung itu sudah terdiri dari rumah yang hancur dan yang bertahan.
Preman-preman bayaran berkulit gelap membangun pos penjagaan dan mulai meneror segelintir warga yang tersisa. Arus listrik diputus. Selokan air tidak menemukan jalannya, mengakibatkan genangan-genangan air yang sebarannya tak beraturan. Yang paling kuat bertahan akhirnya juga memilih angkat kaki, 1992.
Sejumlah RW di sepanjang Jalan Kawi digusur. Pasar malam yang tadinya buka tiap sore hingga larut malam otomatis punah. Metromini dan Kopaja berangsur kehilangan penumpang dan trayeknya dihapuskan.
Sejarah selalu tentang perubahan. Yang lahir dan dibesarkan di kampung itu bisa dibilang tidak punya tempat mudik. Sebagian dipertemukan kembali lewat Facebook.
Sekelompok warga yang sudah lanjut usia lantas membikin grup-grup di medsos dan sesekali reuni di Taman Tangkuban Perahu.
Mereka merasakan adanya abnormalitas dan ketercerabutan (uprootedness) akibat penggusuran itu. Akan tetapi, kenangan tentang kampung komunal perkotaan di mana mereka tumbuh bersama itu hampir merata terasa manis, sekaligus kelam, dalam kenangan.
Kini mereka tinggal di Greater Jakarta, tidak di ‘tengah’ lagi, dan sudah punya komunitas yang baru: sesekali mereka menyempatkan diri berkumpul dan bernostalgia.