Bisnis  

Opini Chief Economist BRI Terkait Kebijakan Suku Bunga Acuan

Kabarjakarta.com

PANDEMI COVID-19 menyisakan pekerjaan rumah (PR) yang besar bagi perekonomian dunia dalam pemulihan ekonominya. Kebijakan lockdown yang dilakukan banyak negara di masa pandemi Covid-19 menyebabkan gangguan rantai pasok sampai saat ini. Suplai barang dan jasa belum pulih sepenuhnya dan masih jauh dari normal, sehingga kenaikan harga-harga cenderung naik signifikan, terutama harga energi dan pangan. Ditambah lagi perang Rusia-Ukrania, semakin menambah tekanan pada harga energi dan pangan karena Rusia termasuk negara yang kontribusinya tinggi di dunia untuk minyak, gas, dan gandum.

Kondisi ini menyebabkan inflasi naik signifikan dan jauh dari perkiraan di dunia. Inflasi tinggi yang terus menurus dikuatirkan akan mengerem pertumbuhan ekonomi dunia secara signifikan, bahkan bisa menyebabkan resesi ekonomi atau stagflasi.

Oleh karena itu, untuk mengatasi inflasi tinggi ini, banyak negara sudah menaikkan suku bunga acuannya. Bank Sentral AS sudah menaikkan suku bunga acuannya dua kali yaitu 25bps (Mar-22) dan 50bps (Mei-22). Diperkirakan sampai akhir tahun suku bunga acuan AS akan naik lagi sekitar 100bps. Ini artinya Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuannya sebesar 175bps (1,75%), sehingga bunga acuan AS sekitar 2,00% tahun 2022 dari 0,25% tahun 2021. Saya kira ini kenaikan yang sangat agresif dan speed yang cepat dalam sejarah perekonomian AS, mengingat inflasi yang tak terkendali di AS, tercatat 8,3%yoy pada April 2022.

Bagaimana dengan BI dalam merespon kenaikan suku bunga acuannya? Apakah BI sebaiknya segera mengikuti kenaikan suku bunga acuan secara agresif baik size dan kecepatannya seperti negara lain?

Harus diakui Indonesia, juga mengalami tekanan inflasi yang sama seperti banyak negara di dunia. Namun kalau melihat catatan inflasi Indonesia, tidak seburuk negara lain yang sangat responsif terhadap kenaikan harga komoditas, terutama harga energi dan pangan. Sampai saat ini inflasi Indonesia sekitar 3,47%yoy pada Apr-2022 dari 2,64%yoy pada Mar-22. Tingkat inflasi yang jauh lebih rendah dibandingkan AS yang tercatat 8,3%yoy atau negara lainnya.

Pemerintah juga sangat sadar sepenuhnya, tren inflasi yang terus merangkak naik harus segera dicegah supaya tidak berlari kencang, tidak terkendali. Tingginya inflasi secara berlebihan akan memukul daya beli masyarakat, yang pada gilirannya bisa sangat menggangu pertumbuhan konsumsi RT, yang merupakan nyawa atau motor utama penggerak perekonomian Nasional. Saya kira keputusan pemerintah untuk menaikkan subsidi energi sekitar Rp. 74,9 triliun (naik 48,8% dari rencana awal APBN 2022) dan menaikkan komponsasi BBM dan listrik sebesar Rp. 275,0 triliun (naik 512,7%) harus kita sambut dengan baik. Kebijakan ini memberikan signal bahwa tekanan terhadap harga energi, harga BBM, dan tarif listrik sudah diminimaliasi oleh pemerintah. Ini artinya tekanan inflasi Indonesia, seharusnya tidak sebesar negara yang memberlakukan harga pasar untuk harga energi, BBM, dan tarif listriknya. Hal ini saya kira bisa meredam ekspektasi inflasi ke depannya, yang biasanya cenderung bergerak liar.

Oleh karena itu, sejalan dengan upaya pemerintah menekan laju inflasi, ada baiknya BI mempertahankan suku bunga acuannya pada bulan ini, yaitu 3,50%. Pada saat ini saya kira pelemahan Rupiah masih dalam taraf managable karena penguatan Dollar AS terhadap sebagian besar mata uang di dunia. Dengan cadangan devisa yang masih tinggi sekitar USD 135,6 miliar (6,9 bulan impor), jauh di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Saya kira ruang BI untuk menaikkan suku bunga acuannya, tidak perlu seagresif negara lain pada tahun ini.