DINAMIKA dan pemulihan ekonomi dunia sangat cepat berubah dibandingkan akhir tahun lalu dan harus diakui jauh dari ekspektasi sebelumnya. Ketidakpastian di dalam perekonomian dunia masih sangat tinggi, walaupun pandemi Covid-19 sudah relatif terkendali dengan baik.
Dampak negatif pandemi Covid-19 sangat terasa mengganggu rantai pasok sehingga terjadi shortage supply yang luar biasa pada barang dan jasa, terutama energi dan pangan. Hal ini yang menyebabkan harga komoditas energi dan pangan melonjak tinggi, yang menyebabkan inflasi melonjak signifikan di hampir semua negara, tidak terkecuali di negara maju, seperti AS.
Inflasi yang terjadi sekarang ini terbukti tidak bersifat sementara, cenderung makin persistent karena meningkatnya tensi geopolitik yaitu perang Rusia-Ukrania. Rusia adalah termasuk produsen minyak, gas, dan pangan yang kontribusinya sangat besar di dunia. Kondisi semakin mendorong harga komoditas yang sebelumnya sudah sangat tinggi, menjadi sangat mahal lagi.
Alhasil tren inflasi terus beranjak naik dan dikuatirkan perekonomian dunia mengalami stagflasi. Oleh karena itu di berbagai negara saat ini fokus bagaimana memerangi inflasi yang sangat tinggi ini. Di berbagai negara sudah banyak menaikkan suku bunga acuannya. Contohnya Bank Sentral AS, ada perubahan pengetatan kebijakan moneter yang sangat dramatis. Suku bunga acuan AS yang awalnya diperkirakan hanya naik sekitar 75bps pada tahun 2022, secara drastis berubah kenaikannya menjadi 175bps.
Sebagai catatan, kenaikan suku bunga acuan AS sudah naik sebesar 75bps, 25bps pada bulan Mar-22, kemudian naik lagi 50bps pada Mei-22. Ini artinya sampai akhir tahun kemungkinan akan naik lagi sebesar 100bps, dengan phase yang lebih cepat. Reaksi Bank Sentral AS saat ini, saya kira sangat wajar karena inflasi AS sudah berada di atas 8%, tercatat 8,5%yoy pada Mar-22, sedikit menurun ke 8,3%yoy pada April.
Anton Hendranata
Chief Economist BRI / Direktur Utama BRI Research Institute