KabarJakarta.com – Mantan Wakil Kepala Detasemen (Wakaden) B di Biro Pengamanan Internal (Paminal) Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Arif Rachman, mengungkapkan harga meti untuk jenazah Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J senilai Rp10 juta.
Hal itu diungkapkan Arif saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi kasus obstruction of justice atau perintangan penyidikan perkaraan dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J dengan terdakwa Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria.
Harga peti itu terungkap ketika dia menceritakan proses pengawalan otopsi jenazah Brigadir J di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, untuk dilaporkan kepada terdakwa Agus Patria yang kala itu menjabat sebagai Kepala Detasemen (Kaden) A Biro Paminal.
“Saya lapor ke beliau (Agus Patria), untuk otopsi sudah selesai, selanjutkan proses merapikan kembali organ tubuh almarhum (Brigadir J),” kata Arif dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (22/12/2022).
“Apa jawaban terdakwa Agus?” tanya jaksa. Menurut Arif, Agus kemudian menanyakan perihal peti jenazah untuk Brigadir J. Sebab, jenazah Brigadir J akan diantar ke Jambi setelah otopsi dilakukan.
“Beliau menanyakan petinya sudah ada belum? Saya bilang belum ada. Dia minta untuk dicarikan yang tersedia di rumah sakit,” ungkap Arif.
Lalu, Agus Patria memerintahkan kepada Arif untuk menggunakan peti jenazah yang ada di rumah sakit. Dan dia pun mencari peti untuk jenazah Brigadir J.
“Kebetulan depan di ruang otopsi itu kamar jenazah, ada stafnya, saya tanya dan peti jenazah tersedia,” jelas Arif.
Jaksa kemudian menanyakan, apakah peti jenazah dibeli atau tidak. Arif mengatakan dibeli seharga Rp10 juta. Dan kemudian, peti itu diserahkan ke pihak rumah sakit.
Seperti diketahui, Hendra Kurniawan dan Agus Patria didakwa telah melakukan perintangan penyidikan pengusutan kematian Brigadir J bersama Ferdy Sambo, Arif Rachman, Baiquni Wibowo, Chuck Putranto, dan Irfan Widyanto.
Tujuh terdakwa dalam kasus ini dijerat Pasal 49 jo Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Keenam anggota polisi tersebut dikatakan jaksa menuruti perintah Ferdy Sambo yang kala itu menjabat sebagai Kadiv Propam Polri untuk menghapus CCTV di tempat kejadian perkara (TKP) lokasi Brigadir J tewas.
“Perbuatan terdakwa mengganggu sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya,” kata jaksa membacakan surat dakwaan dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Rabu (19/10).
Para terdakwa juga dijerat dengan Pasal 48 jo Pasal 32 Ayat (1) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Para terdakwa sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik,” terang jaksa.
Selain itu, enam anggota polisi yang kala itu merupakan anak buah Ferdy Sambo juga dijerat dengan Pasal 221 Ayat (1) ke-2 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
“Para terdakwa turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang,” kata jaksa.
Jaksa memaparkan, perintangan penyidikan itu diawali adanya peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada 8 Juli 2022.
Pasca peristiwa itu, Ferdy Sambo menghubungi Hendra Kurniawan yang kala itu menjabat sebagai Kepala Biro (Karo) Paminal Polri untuk datang ke rumah dinasnya dengan niat menutupi fakta yang sebenarnya.
Berdasarkan dakwaan yang dibacakan jaksa, Ferdy Sambo lantas merekayasa cerita bahwa terjadi tembak-menembak antara Richard Eliezer atau Bharada E dengan Brigadir J di rumah dinasnya yang menyebabkan Brigadir J tewas.
Singkatnya, Sambo memberikan perintah untuk melakukan segera menghapus dan memusnahkan semua temuan bukti CCTV yang dipasang di lingkungan Kompleks Polri, Duren Tiga, setelah pembunuhan Brigadir J.