SALAH satu aktivitas yang membahagiakan bagi warga yang tinggal di kota DKI Jakarta adalah mengunjungi taman-taman yang makin banyak jumlahnya. Taman-taman itu dibangun Pemerintah Kota dengan niatan membahagiakan warga. Benar, taman merupakan salah satu sumber kebahagiaan. Taman yang bukan berfungsi sebagai ‘garden’: dekorasi kota yang dilarang disentuh dan diinjak, melainkan taman yang berfungsi sebagai ‘park’: tempat warga kota mengisi waktu senggang dan membuang penat keseharian dengan memenuhi ruang publik.
Di tahun 2022, tercatat ada sekitar 1.500 taman kota, 1.000 jalur hijau dan 50 hutan kota yang tersebar di seantero DKI Jakarta, untuk menyebut data statistik secara garis besar.
Orang kota belakangan lebih parah dalam hal stres dan penderitaan, karenanya mereka menyebut rekreasi sebagai penyembuhan (healing) dan bukannya penyegaran (refreshing).
Taman menjadi alternatif sumber kebahagiaan karena:
Pertama, ia menyediakan ruang terbuka yang luas, cocok untuk membuang sumpek warga kota, terutama yang rumahnya kecil-kecil dan berjejalan kurang teratur di gang-gang dan jalanan kampung.
Kebutuhan yang tinggi akan ‘ruang ketiga’ (di luar ruang privat dan ruang kerja) membuat taman, sesederhana apapun desain dan penataannya, selalu ramai dikunjungi warga yang mungkin beberapa dekade belakangan ini agak kurang piknik.
Kedua, di taman orang bisa bertemu pohon-pohon yang menyediakan keteduhan dan kesejukan, tanaman hias yang menghibur pandangan mata, dan rumput yang bisa diinjak-injak. Dalam wacana lama taman sebagai ‘garden’ dahulu kala orang dilarang menginjak rumput. Rumput dan tanaman adalah ornamen kota yang mahal dan keramat, terlarang disentuh, hanya boleh dilihat.
Ketiga, di taman orang bisa berjumpa manusia lain, yang mungkin kurang akrab akan tetapi akhirnya harus saling menyapa karena physical encounter yang tak terhindarkan. Keberadaan taman menggeser interaksi sosial manusia di dunia maya ke interaksi sosial di dunia nyata. Lagi pula, bukankah bermasyarakat dan bersosialisasi dalam berbagai kadarnya adalah kebutuhan fitrah manusia? Orang-orang kesepian mestinya rutin datang berkunjung ke taman.
Keempat, di taman banyak anak-anak kecil yang bermain aneka wahana dan permainan. Tidak syak lagi bahwa anak-anak kecil adalah simbol kebebasan dan sumber kebahagiaan bagi siapa pun. Jiwa-jiwa mereka putih tanpa dosa, ekspresi mereka jujur, tingkah laku mereka lucu. Dunia mereka adalah dunia imajinasi yang ringan dan penuh permainan, membuat kita teralihkan dari keseriusan dan ketegangan beban hidup selaku orang dewasa.
Kelima, di taman datanglah pasangan-pasangan suami istri yang dipastikan merupakan keluarga-keluarga harmonis. Mereka menyempatkan diri datang, dengan atau tanpa anak-anak, mengisi hari libur dan waktu senggang dengan berkunjung ke taman. Kalau tidak harmonis mana mungkin mereka datang berduaan, bercengkerama sambil bergandengan tangan. Berjumpa orang-orang bahagia tak pelak menghasilkan kesadaran bahwa ada hal-hal yang membahagiakan di dunia ini. Hal itu menambah kebahagiaan kita pula.
Keenam, di taman terkadang berkumpul komunitas-komunitas olahraga, kesenian atau arisan ibu-ibu yang menunjukkan bahwa hidup guyub rukun belum hilang dari adat kebiasaan warga kota, setidaknya warga kota kelas menengah ke bawah. Kegiatan-kegiatan kebudayaan menjadi faktor pemersatu bagi keragaman latar belakang etnik, sosial, budaya, ekonomi warga kota.
Ketujuh, taman-taman kota itu tidak berbayar alias gratis. Dan, segala yang gratis selalu membahagiakan karena uang di kantong bisa dihemat atau dibelanjakan untuk lain-lain keperluan yang lebih mendesak.
Kedelapan, taman-taman kota memungkinkan warga berolahraga, baik dengan berjalan kaki, berlari-lari kecil, futsal, voli, basket, badminton atau dengan memanfaatkan sarana kebugaran sederhana yang tersedia. Bergerak secara fisik tentu sangat baik bagi kesehatan badan dan pikiran, menghindarkan kebiasaan malas bergerak (mager) lantaran lama menatap gawai atau mengkonsumsi internet.
Kesembilan, keberadaan taman-taman kota itu secara tidak langsung menghidupkan aktivitas perekonomian pedagang kaki lima dan pedagang asongan yang menawarkan minuman ringan dan makanan kecil. Maka, terbukalah lapangan kerja baru bagi para emak-emak yang mencari tambahan penghasilan atau bapak-bapak yang menganggur dan atau baru dipecat dari perusahaan. Ditambah lagi pemanfaatan lahan parkir dan keamanan parkir kendaraan yang jumlah pungutan retribusinya bisa jadi sumber pendapatan tersendiri.
Kesepuluh, keberadaan pohon-pohon besar nan rindang di taman-taman kelak mengundang burung-burung kecil untuk hinggap dan singgah di pohon-pohon itu. Memperhatikan tingkah burung-burung adalah hiburan tersendiri. Mendengarkan kicauan mereka konon bisa meredakan stres. Kicauan beburung yang ramai di taman-taman Jakarta adalah alternatif bentang suara yang mendekatkan warga kota pada nuansa alam yang damai, sebagai ganti suara klakson, deru kendaraan atau caci makian orang. Taman yang agak luas bahkan bisa ditingkatkan fungsinya menjadi kebun binatang mini, sehingga bisa jadi wahana edukasi bagi anak-anak.
Demikianlah 10 alasan agar orang hendaknya mengunjungi taman-taman kota. Khususnya jika mereka ingin melihat potret manusia Jakarta sebagai makhluk invidual dan makhluk sosial secara alamiah, wajar dan apa adanya.
Sebagai catatan: sumber-sumber kebahagiaan selalu tersedia pada kesederhanaan, kejujuran dan keinginan untuk selaras dengan makhluk dan alam. Untuk apa maju secara ekonomi kalau batin merana? Canggih secara pemikiran tetapi miskin kebahagiaan. Prestasi duniawi dan prestise sosial diraih sebagai pencitraan yang berakar dari manipulasi dan rekayasa.
Orang harus tersambung dengan orang lain atas dasar bawaan naluriahnya, membina relasi sosial tanpa kepentingan politik dan tanpa keharusan menjaga jarak. Semua idealita ini tentu membutuhkan political will dari Pemerintah Kota yang peduli terhadap kebahagiaan warganya.
Singkat kata, sejahtera itu perlu, namun bahagia itu wajib.
Wallahu a’lam.