Opini, Kabarjakarta.com - Corona Virus Disease 2019 atau yang disingkat Covid-19 merebak seluruh dunia. Virus yang bermula dari Wuhan ibukota Provinsi Hubei China itu, sudah menginfeksi 3,22 juta orang dengan kematian mencapai 19 juta Orang hingga awal April 2020.
Tingginya angka kematian membuat semua orang panik tidak terkecuali umat Islam yang tengah menyambut bulan suci Ramadhan.
Karakter Covid-19 yang menyebar sangat mudah di keramaian dengan gejalanya yang kadang seperti flu biasa mempermudah penularan.
Masjid sebagai tempat berkumpul umat muslim pun tak luput dari kekhawatiran masyarakat dan pemerintah.
Masjid yang bermakna tempat bersujud memang merupakan tempat yang secara teori mudah menularkan kepada sesama jamaah.
Kita masih ingat bagaimana ibadah Umrah di Tanah Suci ditiadakan setelah pemerintah Kerajaan Arab Saudi khawatir dengan pandemi makhluk renik ini.
Arab Saudi sejak awal Maret 2020 memang memberlakukan Lockdown dan menutup akses ke Masjidil Haram yang menjadi pusat ibadah umrah dan haji termasuk Masjid Nabawi. Kabar terakhir meneybutkan pihak keluarga kerajaan bahkan dilaporkan sudah terinfeksi virus yang belum ditemukan obatnya ini.
Di Mesir, Al-Azhar dan Lembaga Fatwa Mesir (Dar Isfta' al-Mishriyyah) juga mengeluarkan Fatwa atau semacamnya untuk memberikan pemahaman dan penyadaran kepada publik. Salah satu yang menjadi perhatian ulama adalah soal beribadah di rumah.
Bahkan Kementrian Wakaf Mesir mengeluarkan maklumat untuk menutup masjid selama Pendemi Covid-19.
Di Indonesia sendiri demi menghindari bahaya bagi umat Islam itu, maka pemerintah dan majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan himbauan agar masyarakat mantaati himbauan jaga jarak dari pemerintah dan MUI.
Jaga jarak itu, bagi umat Islam adalah dengan tidak mengadakan sholat jumat, sholat berjamaah, buka puasa bersama, sholat Ied dan kegiatan keagamaan lainnya yang mengumpulkan orang banyak.
Tindakan tersebut dilakukan untuk menghindari bahaya bagi kehidupan umat Islam. Karena tujuan beragama atau Maqashid al-Syari'ah, menegaskan bahwa semua aktivitas ibadah tanpa terkecuali dilaksanakan dalam rangka menjaga agama, akal, diri, keturunan dan Harta. Dalam Al-Quran Allah Berfirman:
"Dan Janganlah kamu menjerumuskan dirimu dalam bahaya" (Q.S. Al-Baqarah: 195)
Karena itu apabila ada persoalan yang menggangu aktivitas tersebut, mestinya harus dihindari. Menghindari bahaya lebih diprioritaskan daripada mencari maslahat. Ulama menegaskan "La dasar wa la dhirar" bahwa ibadah tidak boleh berbahaya bagi dirinya atau bagi orang lain.
Demikianlah ulama memberikan pandangannya kepada umat Islam dalam menghadapi wabah ini.
Tafsir Islam Terhadap Wabah
Wabah yang dihadapi dunia Islam tidak terjadi hanya kali ini saja. Berulang kali terjadi dan itu tercatat dalam sejarah Islam. Salah satunya pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
Ketika hendak memasuki Wilayah Syam, Amirul Mukminin Umar Ra, disambut oleh Abu Ubaidillah bin Jarrah ketika itu Gubernur Syam di perbatasan Syam, kemudian menyampaikan bahwa di dalam negeri tersebut ada wabah Tha'un yang sedang menimpa wilayah kekuasaannya.
Umar RA tidak langsung memutuskan untuk tetap masuk atau meninggalkan wilayah itu. Terjadi Musyawarah untuk memutuskan apakah perjalanan dilanjutkan atau tidak.
Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Amirul Mukminin memutuskan untuk tidak memasuki Syam. Keputusan untuk tidak memasuki wilayah Syam setelah Abdurrahman bin Auf, menyampaikan sabda Rasulullah SAW:
"Jika Kalian mendengar wabah melanda suatu Negeri, maka jangan Kalian memasukinya, dan Jika Kalian berada di daerah itu, jangan kalian keluar untuk lari darinya". (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Ahmad dalam Musnadnya pernah mencatat beberapa sahabat yang wafat karena wabah. Di antaranya Mu'adz bin Jabal dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
Dalam beberapa Buku disebutkan bahwa Mu'adz menyerukan untuk tetap tinggal di rumah dan beribadah di rumah Masing-masing. Seruan itu dalam istilah sekarang adalah physical distancing, sebagai ikhtiar untuk mencegah penyebaran wabah, sehingga tidak menelan banyak korban.
Dalam catatan Ibnu Hajar dalam Kitab Inba' Al-Ghumr bin Abna al-'Umr mencatat Peristiwa wabah mematikan di Mekkah, termasuk Masjidil Haram. Peristiwa tersebut yang membuat orang terpaksa mengambil keputusan untuk tidak melaksanakan shalat di Masjidil Haram. Demikian umat Islam menghadapi wabah.
Dalam sejarah Masjidil Haram pernah ditutup pada 827 H akibat Wabah yang melanda Makkah yang menelan korban sebanyak 1.700. Ibn Hajar al-Asqalani juga mencatat peristiwa merebaknya wabah Tha'un di Damaskus pada 749 H.
Kemudian beliau mengkritisi praktik warga dan pemuka masyarakat yang berkumpul untuk melaksanakan doa bersama, karena justeru itu yang terjangkit wabah Tha'un pun meningkat tajam setelah doa bersama tersebut.
Dengan menghentikan aktivitas sholat berjamaah dan sholat jumat serta aktivitas lainnya di Masjid untuk sementara agar memutus rantai penyebaran wabah merupakan anjuran Rasulullah SAW. Rasulullah bersabda, "janganlah yang sakit bercampur baur dengan yang sehat" (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan sifat penyakit yang sulit diketahui gejala dan karakternya seperti Covid-19, tidak menutup kemungkinan orang yang terdampak virus ikut berbaur dengan jamaah yang lainnya tanpa mengetahui bahwa dirinya terinfeksi Covid-19. Dengan demikian penyebaran virusnya akan semakin cepat.
Sebagai warga negara dan umat Islam wajib bagi kita untuk mentaati perintah ulama dan pemerintah dalam mengatasi wabah mematikan ini, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kebijakan pemerintah yang mementingkan maslahat wajib didengarkan.
Anjuran dari Ulama juga wajib kita dengarkan. Ketaatan kita pada dua institusi ini sejalan dengan al-Quran Surah An-Nisa' : 59.
Maka perlu kerjasama antara seluruh elemen, mulai dari masyarakat umum dan pemerintah serta Ulama harus kompak dalam menghadapi wabah ini.
Dengan berbagai pertimbangan medis dan berbagai pertimbangan yang bersifat keselamatan bersama, pemerintah tentu punya keputusan tersendiri dalam menghadapi wabah ini.
Begitupun dengan para ulama yang telah memberikan anjuran untuk menghindari sholat berjamaah di Masjid disaat wabah ini. Tentu keselamatan umat menjadi penting dalam postingan para ulama tersebut.
Sudah 6 Jumat umat Islam Indonesia, yang daerahnya berdampak Covid-19 tidak melaksanakan sholat jumat. Sholat berjamaah juga sudah ditiadakan untuk sementara. Tidak ada lain, yaitu menyelamatkan jiwa umat Islam dari ancaman wabah ini.
Tentu pertimbangan keagamaan MUI lebih menyeluruh ketimbang pandangan yang dimiliki umat Islam. Ulama menjadi sangat penting dalam memberikan pencerahan umat dalam menghadapi wabah ini. Demikian cara kita untuk menghindari wabah ini, sehingga kita selamat dari wabah mematikan ini.
*Penulis adalah Raihan, S. S. M. Hum.
Dosen di jurusan PBA, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Mataram
dan koordinator Bahasa di Pondok Pesantren Lentera Hati Mataram
Penulis :
Editor : Redaksi