PADA awal tahun 2010, warga Jakarta dihebohkan dengan penemuan korban mutilasi yang seluruhnya adalah anak-anak jalanan. Terungkap, pelakunya adalah pengasuh anak jalanan yang bernama Baekuni alias Babe, pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah 6 September 1960.
Cerita berawal pada Jumat, 8 Januari 2010, sekitar pukul 05.45 WIB, ketika Abdi Alfitri hendak berangkat dari rumahnya di kawasan Cakung, Jakarta Timur. Setiap hari dia melintasi Jalan Inspeksi Kanal Timur, Cakung, yang terletak di sepanjang Banjir Kanal Timur (BKT).
Langkah kakinya seketika terhenti ketika matanya tertuju pada bungkusan kardus kemasan air mineral di pinggir jalan. Kardus itu tergeletak tepat di samping jembatan yang menghubungkan Jalan Inspeksi dan Jalan BKT, yang masuk wilayah Harapan Indah, Bekasi, Jawa Barat.
Kardus yang diikat erat dengan tali plastik berwarna kuning tersebut menggoda Abdi untuk membukanya. Dia bertanya, siapa yang meninggalkan atau kardus itu di jalanan?
Begitu dibuka, dari dalam kardus itu menyembul bungkusan plastik warna hitam yang seolah dipaksakan masuk. Kardus itu dikerubungi lalat dan air merembes dari bawah kardus.
Semakin penasaran, Abdi membuka ikatan tali pada kardus dan plastik hitam. Betapa terkejut dan spontan dirinya lompat ke belakang begitu mengetahui isi di dalam kardus tersebut. Ia mendapati beberapa potongan tubuh manusia tanpa kepala yang masih segar di dalam plastik.
Spontan dia berteriak memanggil warga yang hilir mudik di jalanan pagi itu. Abdi menceritakan penemuan potongan tubuh manusia di dalam kardus. Seketika tempat itu menjadi ramai dengan warga yang ingin melihatnya. Sebagian menghubungi polisi. Dalam hitungan menit, anggota Polsek Cakung tiba di lokasi.
Setelah melakukan olah di tempat kejadian perkara (TKP), polisi memastikan isi kardus itu adalah potongan kaki dan tangan bocah berusia 6-12 tahun. Seusai oleh TKP, polisi membawa potongan tubuh anak kecil itu ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Salemba, Jakarta Pusat.
Keesokan harinya, masyarakat kembali dihebohkan dengan penemuan kepala anak kecil di dalam plastik berwarna putih di Rawa Teratai, tepatnya di pinggir jembatan Warung Jengkol, Kelapa Gading, Cakung, Jakarta Timur. Adalah seorang warga bernama Bahtiar yang menemukan potongan kepala itu.
Polisi langsung menyimpulkan dua penemuan potongan tubuh anak lelaki itu berkaitan. Tim penyelidik dibentuk untuk mengungkap kasus pembunuhan dan mutilasi ini. pengungkapan kasus itu tak membutuhkan waktu lama.
Polisi menerima laporan dari salah seorang warga Gang Ketut RT 04 RW 07, Cakung, yang mengaku kehilangan anaknya bernama Ardiansyah berumur 9 tahun. Polisi langsung melakukan tes DNA (deoxyribonucleic acid) di Kedokteran Polri dan visum et repertum dari Instalasi Kedokteran Forensik RS Polri Dr Sukamto. Hasilnya ternyata cocok.
Orang tua korban menceritakan anaknya sering mengamen di Terminal Pulogadung. Korban dan temannya sesama pengamen kerap terlihat bersama Babe, pedagang rokok yang mangkal di depan gedung Pulogadung Trade Centre (PTC). Babe dikenal oleh masyarakat sebagai pengasuh anak jalanan.
Hari itu juga polisi menangkap Babe di rumah kontrakan milik Kong Ahmad di Gang Masjid Haji Murdalim RT 06 RW 02, Pulogadung, Jakarta Timur. Pria berkulit gelap dan berkumis itu tak berkutik saat diciduk polisi. Ia langsung digiring ke kantor polisi.
Kepada polisi, Babe menceritakan sudah mengenal Ardiansyah, bocah korban pemutilasian sejak enam bulan lalu. Bocah itu diketahui sering menginap di kontrakannya. Begitu juga sehari sebelum mayatnya ditemukan.
Bocah pengamen berparas ganteng itu dipangkunya, dan kemudian diajak ke kontrakannya.
Babe bercerita, setiba di kontrakannya, Ardiansyah disuguhi mie rebus. Setelah makan, sekitar pukul 14.30 WIB, Babe mengunci pintu kontrakan. Dia merayu bocah itu agar mau disodomi. Ajak itu tentu saja ditolak korban sehingga membuat Babe marah.
Ketika Ardiansyah lengah, Babe menjerat lehernya dengan tali plastik hitam. Tubuh korban pun lemas, lalu diperkosa oleh Babe.
Setelah meluapkan nafsu birahinya, Babe meninggalkan jasad korban di dalam kamar dan menguncinya. Ia kembali ke tempat berjualan, dan kembali ke kontrakannya pukul 17.00 WIB. Ia kemudian memotong tubuh korban menjadi empat bagian menggunakan golok. Potongan tubuh, kaki dan tangan korban dimasukkan ke dalam kardus. Sedangkan potongan kepala dibungkus baju bekas dan dimasukkan ke dalam kantong kresek.
Jumat, 8 Januari 2010, sekitar pukul 03.00 WIB, Babe mengendap-endap keluar dari kontrakan sambil menenteng dua bungkusan berisi potongan tubuh korban. Jasad bocah itu dibuang di dua tempat yang berbeda, yaitu jembatan BKT dan Rawa Terate.
Dari pengakuan Babe, ternyata ia pernah menyodomi dan membunuh 10 anak jalanan lainnya sejak tahun 1993 hingga 2010. Tapi, dia menyebut, mulai memutilasi tubuh korban sejak 2007.
Terungkap, korban dan mutilasi menimpa empat anak jalanan yaitu bernama Adi pada 9 Juli 2007, Rio 14 Januari 2008, Arif 15 Mei 2008, dan Ardiansyah pada 8 Januari 2010. Beberapa korban dikubur dikubur di Jakarta saja, tapi ada di beberapa daerah lainnya yakni di Kuningan, Jawa Barat, Magelang, Purworejo, dan Purwokerto, Jawa Tengah.
“Totalnya ada 10 korban. Ada lagi dua korban dikubur di Purwokerto dan Magelang,” kata Direktur Reserse Kriminal Polda Metro Jaya saat itu, Kombes Idham Aziz.
Sedangkan, dari hasil penyelidikan Komnas Perlindungan Anak (PA) menyebutkan setidaknya ada 15 anak yang dibunuh Babe. Pasalnya, di kontrakan Babe ditemukan kumpulan koleksi foto anak jalanan yang disimpan di dalam kotak rokok.
“Ada 15 foto anak, mungkin itu yang jadi sasaran pelaku. Menurut keterangan anak jalanan, foto-foto yang disimpan itu yang disenangi Babe,” ungkap Sekjen Komnas PA Artist Merdeka Sirait, 19 Januari 2010.
Sudah belasan tahun Babe melakukan perbuatan keji terhadap anak-anak jalanan. Perbuatannya itu terbongkat karena pelaku melanggar aturan yang dia buat sendiri.
“Kenapa Babe tertangkap? Karena dia melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Dia kan biasanya melakukan hubungan seks dengan anak di luar pengasuhannya,” kata psikolog Sarlito.
Berkawan dengan Robot Gedek
Ternyata, Babe berteman dengan Robot Gedek alias Siswanto, terpidana mati kasus serupa pada 1996-1997. Keduanya saling mengenal ketika sama-sama menjadi tukang ojek pada 1993 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Hal itu diungkapkan pengacara Babe, Haposan Hutagalung. Namun, Haposan menampik bila Babe disebut menjadi salah satu saksi kasus Robot Gedek pada 1997.
Sedangkan menurut pengacara Robot Gedek, Febri Irnansyah, Robot Gedek kenal dengan Babe sejak tinggal di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Robot Gedek menganggap Babe sebagai senior sesama ‘predator’ anak-anak dan homoseksual.
Katanya, Babe sempat menjadi saksi di persidangan Robot Gedek. Tapi Babe dulu menggunakan nama Sunarto, dan mengaku sebagai pedagang baju bekas di Pasar Jiung, Kemayoran, Jakarta Pusat.
“Saya yakin 100% mukanya Babe mirip dengan saksi Robot Gedek, Sunarto, alias Babe,” kata Febri pada 4 Februari 2010.
Saat itu, Polda Metro Jaya bersikukuh bahwa Babe dan Robot Gedek sama sekali tidak memiliki keterkaitan. Bahkan keputusan majelis hakim di pengadilan telah memvobis Robot Gedek dengan hukuman mati sesuai alat bukti yang ditemukan.
Robot Gedek meninggal dunia akibat mengalami serangan jantung di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, 26 Maret 2007. Dia meninggal dunia sebelum waktu eksekusi hukuman mati dilakukan.
Sedangkan Babe dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 6 Oktober 2010. Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mendakwanya hukuman mati. Jaksa pun mengajukan banding. Hasilnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonisnya menjadi hukuman mati pada 13 Desember 2010.
Menanggapi vonis tersebut, Babe mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Hasilnya, dia tetap divonis hukuman mati pada 21 April 2011. Lalu Babe mengajukan peninjauan kembali. MA tetap menolak dan menghukum mati dirinya.
Kini, Babe masih mendekam di LP Cipinang, Jakarta Timur, menunggu waktu eksekusi mati yang dikenakan pada dirinya.
Penulis : Redaksi
Editor : Zultamzil