ABDUL Hadi (bukan nama sebenarnya) adalah profil pekerja komuter yang bergerak bolak-balik dari pinggiran Jakarta, yakni Jakarta Timur tepatnya di bilangan Munjul menuju ke daerah pinggiran kota Bekasi, yakni Bekasi Selatan, tepatnya kawasan Jatiasih.
Abdul Hadi mewakili orang kebanyakan yang menunggang kendaraan roda dua berangkat sekitar pukul tujuh mengantar anaknya yang bersekolah di bilangan Cilangkap kemudian masuk kerja di sebuah lembaga yang mewadahi sejumlah sekolah dari tingkat SD, SMP, dan SMA. Abdul Hadi adalah sosok pekerja kantoran yang masuk pukul delapan pagi pulang jam lima sore.
Jalur tempuh Abdul Hadi biasanya melintasi kawasan Cilangkap, Pondok Ranggon, Ganceng, Kranggan, Kampung Sawah, Jatikramat kemudian tiba di Jatiasih. Sebagai variasi terkadang jalur Kampung Sawah diganti dengan Jatiwarna berbelok ke arah Jatikramat kemudian Jatiasih. Atau dari Kranggan ke Jatirasa, Jatiluhur kemudian Jatiasih.
Abdul Hadi bisa dikatakan berbeda dari komuter yang lazim dikenal yang biasanya bergerak pulang-pergi dari Greater Jakarta ke Central Jakarta. Seperti gerakan sentrifugal yang membuat pusat-pusat baru dan kepadatan-kepadatan baru di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Dalam tujuh hari sepekan dalam hitungan Abdul Hadi, ada dua hari yang lazimnya penuh padat kendaraan dan timbul kemacetan: Senin dan Kamis. Senin biasanya makin macet sehabis long weekend. Selasa, Rabu sepi. Kamis tiba-tiba semua orang turun ke jalanan, dengan mobilnya, sepeda motornya, truk-truk besarnya, menciptakan kemacetan yang konon mengurangi kebahagiaan.
Mengapa kemacetan yang merupakan fenomena fisik dan rutin harian itu mengurangi kebahagiaan? Karena ia memperpanjang jarak psikologis (perceived space) dan waktu tempuh (actual time). Dan di jalan suasana hati orang bermacam-macam: ada yang sedang bahagia dan ingat Tuhan sehingga ia banyak berzikir dan macet itu jadi sarana ibadah. Ada juga yang sedang ruwet dan repot dan lupa kalau ia punya Tuhan sehingga emosi makin membludak dan membuat naik tekanan darahnya. Orang lain kena sumpah serapah dan diminta lebih sabar (subjek psikologi).
Sesungguhnya, kata Abdul Hadi, kemacetan meningkatkan ketabahan dan ketegaran menempuh perjalanan kerja dan perjalanan hidup. Kemacetan juga mengajarkan nilai-nilai Pancasila seperti toleransi, gotong royong, persatuan, kemanusiaan dan keadilan sosial.
Kemacetan di sisi lain menciptakan pula peluang penghasilan bagi pak ogah yaitu sukarelawan pengatur lalu lintas di persimpangan-persimpangan sumber macet itu. Di musim hujan macet tambah dramatis oleh jalanan becek dan orang-orang yang kebasahan serta ingin cepat pulang. Kadang Abdul Hadi ingin merekam itu semua lantas menyuntingnya jadi film pendek.
Dalam kasus Abdul Hadi berangkat dan pulang kerja adalah kesaksian terhadap subjek sosiologi dan fenomena psikologi. Misalnya saat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan pulang kerja itu selaku kepala keluarga (dari sudut pandang sosiologi) yang punya anak bini di rumah ia merasa kangen (kajian psikologi). Mengapa jarak tempuh yang sama dan juga waktu tempuh yang nyaris sama terasa lebih lama karena ada rasa lelah setelah seharian bekerja (fenomena psikologi).
Abdul Hadi juga berkantor di komplek perumahan yang terdiri dari keluarga-keluarga dari jenjang ekonomi kelas menengah ke atas yang kurang kohesif dibanding lingkungan tinggalnya di perkampungan perkotaan yang relatif beragam dari sisi sosial ekonomi. Tingkat interaksi sosial kurang intens di perumahan tempat kantornya berada, tidak seperti di lingkungan tinggalnya yang lebih peduli dan guyub (konteks sosiologi). Konteks sosial yang kurang intens membantunya fokus bekerja dan konteks yang intens membantunya merasa berterima secara sosial.
Abdul Hadi itu siapakah dan siapalah? Bukan pedagang kaki lima yang marak di sepanjang jalur tempuh dirinya selaku komuter pinggiran Jakarta ke pinggiran Bekasi. Bukan pekerja komuter di tengah Jakarta yang menumpang kereta api listrik dengan profil berkemeja, sibuk menatap telepon genggam dan seperti tidak ingin mengenal satu sama lain. Wangi dan rapi, kelas menengah.
Gedung-gedung tinggi belum tumbuh di Bekasi. Bekasi baru pubertas menuju kota. Dari sisa-sisa kampung yang adem Bekasi menjadi kota kecil dan menjelang kota besar dalam perhubungannya dengan Central Jakarta dan Greater Jakarta.
Yang masih marak tumbuh adalah sekolah-sekolah, mal dan perumahan-perumahan. Harga-harga tanah mulai naik. Tambun, Cikarang sudah mirip Kramat dan Tanah Tinggi. Sudah banyak got yang semrawut dan rumah tak saling berhadapan.
Jalan-jalan tol berbayar yang menghubungkan nafas pabrik-pabrik dan kemajuan kota-kota kecil seraya menghubungkannya dengan pelabuhan dan pusat-pusat perdagangan di Central Jakarta. Dalam pada itu perhubungan pinggir ke pinggir akan membuat Greater Jakarta semakin menyatu dan roda ekonomi menuntut infrastruktur yang makin besar dan makin canggih.
Kebijakan publik yang terintegrasi antar pemerintah daerah akan menertibkan wajah Greater Jakarta yang sekarang nampaknya masih berpisahan dan berkisar di pusat-pusat baru yang makin padat dengan mengecualikan adanya jalur KRL komuter ke Cikarang.
Transportasi publik yang terintegrasi dengan baik akan menolong Abdul Hadi selaku komuter pinggir-ke-pinggir sebagaimana halnya fasilitas yang sama telah memudahkan para komuter dari pinggir-ke-tengah Jakarta. Abdul Hadi tidak perlu bekendara roda dua lagi dan menghadapi kemacetan demi kemacetan. Ini peluang sosialnya selaku komuter dari pinggir-ke-pinggir.
Moga-moga harapan ini dapat terwujud kiranya dalam waktu yang tidak lama (amin ya Rabbal Alamin!).
Penulis : Deny Firmansyah
Editor : Redaksi