Maret 1998, Tanri Abeng, manager 1 Miliar menuju lapangan tenis. Telepon berdering. Tanri Abeng gemetar. Pak Harto yang berbicara diseberang sana. Singkat cerita, Pak Harto, menunjuk Tanri sebagai Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam kabinet barunya yang akan diumumkan seminggu kemudian. Tanri tak punya banyak pilihan,” Saya akan lakukan yang terbaik, Pak,"jawabnya.
Tanri berharap itu keputusan yang tepat. Ingin melengkapi karirnya yang cemerlang di dunia swasta, Tanri belum sekalipun pernah mengelola BUMN. Namanya besar yang menggetarkan kala itu sebagai dirijen konglomerasi bertangan dingin. Heinneken, Multi Bintang Internasional dan Bakrie Brother’s membayar jasa profesionalnya sangat mahal. Tapi Tanri salah. Keluarganya sejak awal menentang. Dia tak paham politik. Dan BUMN ternyata adalah entitas politik, bukan semata entitas bisnis. Tapi siapa pula yang berani menolak Soeharto kala itu?
Meski tahu konglomerasi yang menggurita saat itu terutama karena sokongan politik terutama dari orang-orang kuat yang berada disekitaran Pak Harto, namun Tanri terlambat menyadari BUMN adalah mainan tentakel orang yang sangat ditakuti itu. Dan, kata 'Cendana', sebuah rumah yang sangat mujarab untuk seluruh problem negeri, menjadi kata kunci mereka.
Tak jelas benar siapa memanfaatkan siapa. Tapi orang-orang kaya itu diketahui makin kaya karena mendapat akses yang luar biasa atas fasilitas-fasilitas pemerintah seperti kredit bank pemerintah, monopoli impor, lisensi spesial dan aneka konsesi lainnya. Dan bisnis-bisnis BUMN adalah tempat terbaik mereka untuk berbisnis pengaruh, mendapatkan privilege tanpa dasar, dan atau memaksakan berbisnis dengan mereka. Dan kita tahu, jika mereka berbisnis dengan BUMN maka negara yang harus bersedia untuk rugi dalam jumlah yang sangat besar.
Tak ada jalan kecuali meminta perlindungan pemberi mandat. Dan Tanri menemui si pemberi mandat. Kepada diktator penuh senyum itu, Tanri menjelaskan rencananya yakni restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi BUMN yang kemudian menjadi blue print BUMN bahkan beberapa kabinet setelahnya. Tapi, kedatangan tanri sebenarnya semata ingin mengetes dan mendapatkan dukungan politik darinya. Tanri gelisah. Pak Harto terlihat kurang antusias terutama di bagian awal pertemuan.
"Saya telah mengupayakan program privatisasi sejak 8 tahun lalu. Tapi sejauh ini hanya setengah lusin perusahaan yang telah melakukannya," Pak Harto mengeluh. Tanri lega. Itu berarti Pak Harto mendukungnya. 25 menit sudah Tanri duduk didepan Presiden. Pak Harto menawarkan minum teh yang tersaji. Itu tanda Tanri harus pergi. Sebelum beranjak pergi, dengan gugup Tanri meminta perlindungan politik.
"Saya tak mengerti politik. Saya mendelegasikan soal politik kepada Bapak,” kata Tanri. Pilihan kata yang sangat salah saat itu. Tapi Soeharto tersenyum. Dari beberapa orang yang diceritakannya tentang pertemuan itu, Tanri disebut sinting. “Kamu beruntung sebab Pak Harto tahu kamu orang Bugis Makassar. Kalau kami orang Jawa (ngomong begitu), selesai kami,” kata semua mereka. Meski hanya dua bulan bekerja untuk Pak Harto sebab setelah itu Orde Baru tumbang dan digantikan Habibie tapi Tanri Abeng tahu situasi seperti apa yang dihadapinya.
Soeharto membentengi Tanri. Tapi Habibie tidak. Tampaknya Habibie ingin memproteksi diri dan pemerintahannya dari cap anak asuh Pak Harto.
Segala hal tentang bekas orang kuat selama 32 tahun itu sangat tidak menguntungkan terutama di mata media yang tiba-tiba menikmati kebebasan yang sebebas-bebasnya. Semakin sulit keadaannya sebab Golkar, pengusung Habibie, tiba-tiba menjadi musuh bersama yang harus dihancurkan terutama dari para politisi yang tak lagi sabar ingin mengambil alih kekuasaan.
Tanri berhasil bertahan hingga 18 bulan seperti usia pemerintahan Habibie yang akhirnya harus berakhir setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak MPR.
Tapi guncangan yang diterimanya membuatnya oleng. Lebih parah, tanpa disadarinya, Tanri terlibat dalam di dunia politik pada entitas bisnis yang seharusnya steril politik. Dia tidak saja bertanggungjawab untuk semua program dan memformulasikan perubahan-perubahan di BUMN, tapi juga sekaligus bertanggungjawab mengelola politik reformasi di perusahaan-perusahaan milik negara ini. Ia bahkan menyadari politiklah sebenarnya yang menjadi arena bermainnya dari seluruh pelaksanaan tugas dan perannya sebagai menteri BUMN.
Lengkap sudah masalahnya sebab Tanri juga harus sesegera mungkin melakukan tuntutan tiga lembaga moneter dunia --IMF, ADB, World Bank— untuk segera memprivatisasi alias menjual BUMN-BUMN ini. Tanri Abeng paham betul Indonesia telah direnggut kehormatannya akibat utang yang maha besar sehingga tak punya ruang sedikitpun untuk menghindar dari tuntutan tiga monster ini.
IMF, Bank Dunia dan ADB sempat kehilangan pengaruh khususnya di negara yang memiliki cadangan minyak besar –termasuk Indonesia—pada paruh tahun 1973-1982 saat harga minyak booming. Namun pasca 1982, negara-negara ini harus takluk pada rentenir internasional itu seiring rontoknya harga minyak dunia dan hancurnya mata uang dunia. Nilai rupiah jebol ke angka Rp 16.000/dolar AS.
Namun kesulitan utama Tanri Abeng tetap saja hal klasik pada sebuah pemerintahan yang korup yakni berhadapan dengan kelompok-kelompok yang merasa bagian dari Cendana tadi. Entah bagaimana caranya para pejabat negara senior ini sangat memahami apa yang terjadi di BUMN dan terlebih lagi apa yang BUMN harus lakukan. Mereka sangat paham bagaimana cara mengisap madu di BUMN.
Tanri sulit menghindar. Sungguh canggih cara mereka mengontrol alokasi lisensi, kredit bank negara dan kontrak-kontrak pemerintah. Di PLN dan Garuda, misalnya. Di Garuda, bahkan pengadaan tisu pun dikorupsi. Salah satu alasan Tanri Abeng merekrut Robby Djohan menukangi Garuda adalah untuk menghadapi kelompok pengisap negara itu serta berani menggebrak meja perundingan dengan kreditur Garuda untuk re-financing.
Beberapa gebrakan Tanri cukup berhasil. Namun kesalahan-kesalahan harus terjadi terutama ketika harus berhubungan dengan para punggawa yang setiap hari berseliweran disekitaran Presiden. “Kalkulator bisnis saya sama sekali berbeda dengan kalkulator politik yang seharusnya saya miliki,” kata Tanri Abeng. Akhirnya, Tanri harus menghabiskan waktu untuk memformulasikan strategi untuk menjamin inisiatif reformasi BUMN sukses dikelola dalam kerangka politis. (AF)
Catatan:
Tulisan ini dibuat tahun 2002, 17 tahun dari hari ini. Aku dengar BUMN tetap gurih seperti kala itu. Selamat bekerja Menteri BUMN 2019.
Penulis :
Editor : Redaksi