Dampak Tarif Resiprokal AS: Rupiah Diprediksi Menguat pada Keseimbangan Baru

Ilustrasi - Tarif Trump Sempat Tekan, Rupiah Bersiap Menuju Keseimbangan Baru.

KabarJakarta.com — Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, memproyeksikan bahwa nilai tukar rupiah akan mengalami penguatan dan mencapai keseimbangan baru setelah pengumuman tarif resiprokal yang ditetapkan oleh Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump. “Dalam kondisi saat ini, pelemahan ekonomi domestik dan depresiasi nilai tukar rupiah adalah fenomena yang wajar, dan rupiah akan mengalami overshoot (penurunan tajam dalam jangka pendek), sebelum akhirnya menguat pada keseimbangan baru,” ujar Fakhrul di Jakarta, Jumat.

Fakhrul menyoroti kebijakan Presiden AS, Donald Trump, yang menetapkan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kebijakan ini, menurutnya, akan menciptakan peluang sekaligus keseimbangan baru. Seperti diketahui, AS mulai menerapkan tarif dasar 10 persen ditambah 32 persen untuk Indonesia sejak 2 April 2025. Fakhrul menyarankan agar pemerintah RI tidak bereaksi berlebihan dan menghindari tindakan balasan yang tergesa-gesa.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, ia menilai bahwa pemerintahan Donald Trump cenderung menggunakan pendekatan “wortel dan tongkat”, dengan penetapan tarif baru ini sebagai langkah awal. “Negosiasi bilateral antarnegara terkait perdagangan akan menjadi agenda selanjutnya,” jelasnya. Ia juga menekankan bahwa dinamika global saat ini ditandai dengan melemahnya multilateralisme, yang mengarah pada peningkatan perjanjian kerja sama ekonomi bilateral.

Untuk mencapai keseimbangan baru rupiah yang stabil, Fakhrul menggarisbawahi beberapa langkah yang perlu diambil pemerintah. Langkah-langkah tersebut meliputi realokasi anggaran untuk mendorong perputaran ekonomi domestik, serta komunikasi yang efektif kepada publik dan pasar keuangan mengenai langkah konkret untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada ekonomi global dalam waktu dekat.

“Isu ketahanan pangan, energi, dan kesehatan menjadi krusial di tengah meningkatnya tensi perang dagang,” ungkapnya. Selain itu, Fakhrul melihat bahwa tantangan perang dagang ini justru dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk mengakses pasar tertentu di AS, seperti sektor tekstil, alas kaki, furnitur, komponen otomotif, dan nikel.

“Namun, kita harus menyadari bahwa kesepakatan perdagangan dengan AS tidak lagi didasarkan pada aturan baku. Negosiasi yang intens akan menjadi keniscayaan,” tuturnya. Menurutnya, para diplomat ekonomi Indonesia perlu memiliki keahlian negosiasi yang mumpuni, terutama Kementerian Luar Negeri, yang akan memainkan peran penting dalam membawa agenda ekonomi Indonesia ke panggung global.

Indonesia disarankan untuk mempertahankan posisi netral sambil memperkuat hubungan dengan negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). “Ke depan, Indonesia harus menjaga netralitas dengan membangun relasi dengan berbagai negara, baik BRICS maupun OECD, untuk memaksimalkan dampak positif bagi perekonomian Indonesia,” katanya.

Fakhrul juga menyoroti kondisi pasar keuangan setelah penurunan indeks saham baru-baru ini. Ia mengimbau investor untuk tidak panik terhadap sentimen perang dagang. “Karena 80 persen dari situasi ini sudah priced in (terprediksi) di pasar. Jika tidak ada halangan, kita bisa mulai melirik peluang dari pasar saham yang saat ini terdiskon,” tuturnya.