KabarJakarta.com – PP HISMINU (Himpunan Sekolah dan Madrasah – Islam Nusantara) mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera membentuk Panitia Kerja Nasional (Panjanas) yang melibatkan pemangku kepentingan kependidikan, baik pemerintah maupun masyarakat.
Ketua Umum PP HISMINU Drs. KH. Z Arifin Juanidi mengatakan, Panjanas bertugas menyusun peta jalan Pendidikan. Peta jalan tersebut menjadi acuan utama dalam penyusunan kebijakan bidang Pendidikan, termasuk perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
“Peta jalan pendidikan merupakan kebutuhan mendasar dalam memastikan arah pendidikan ke depan berjalan dalam kepastian visi dan tujuan,” kata Arifin Junaidi melalui siaran pers secara tertulis, Jumat (14/10/2022).
“Dengan adanya peta jalan, pendidikan di Indonesia dapat dikawal secara konsisten meskipun terjadi pergantian pengambil kebijakan di bidang pendidikan, yaitu Presiden, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, pemerintah daerah, dan lainnya,” tambahnya.
Lanjut Arifin menjelaskan, peta jalan akan menjadi pengikat para pengambil kebijakan, terutama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam setiap kepemimpinannya hingga target peta jalan dibangun, yaitu tahun 2045.
Diharapkan, dengan adanya peta jalan pendidikan, pembangunan di bidang pendidikan dapat lebih terarah dan menghasilkan capaian yang signifikan, berkeadilan, dan merata.
“Desain peta jalan Pendidikan harus mempertimbangkan dan menyesuaikan 4 perubahan yang terjadi, baik di tingkat nasional maupun global, yaitu perekonomian Indonesia, sosiokultural dan demografi Indonesia, pasar kerja Indonesia yang beragam, dan visi Indonesia 2045,” tuturnya.
Dari asepk-aspek tersebut, kata Arifin, terlihat bahwa orientasi pendidikan mengarah pada bagaimana SDM Indonesia mampu merespon perubahan yang cepat dan dinamis dan menjadi SDM berdaya saing yang mampu mengisi pasar dunia kerja. Dalam konteks ini, pendidikan yang berkemajuan berorientasi pada aspek eksternal dari SDM Indonesia ke depan.
Perhatian terhadap penguatan internal yang dapat menjadi kekuatan dan benteng utama juga perlu mendapat perhatian. Kebutuhan terhadap nilai-nilai spiritualitas yang diperoleh melalui pendidikan agama, moral dan pembentukan karakter berakar pada budaya luhur bangsa harus kuat terefleksi dalam desain peta jalan pendidikan.
Sekjen HISMINU Ir. H. MH. Bahauddin menambahkan, kebijakan pendidikan yang diterapkan dan dikembangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) saat ini memang menginovasi proses-proses pendidikan di ranah praktis dan mengubah pola pendidikan dengan standar yang dikontrol secara ketat menjadi lebih dinamis dan berbasis kebutuhan lokal.
Perubahan strategi pendidikan ini, di satu sisi, menjadi jawaban atas kesenjangan kurikulum nasional dengan kebutuhan kehidupan dan penghidupan di tingkat lokal. Namun, di sisi lain membuka kerentanan baru terhadap pendidikan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, berjalan berlawanan dengan prinsip beragama yang moderat, serta memberi peluang kepada kelompok tertentu menjadi kekuatan baru bagi tumbuh suburnya radikalisme dan ekstremisme.
“Keleluasaan pendidik dalam menerapkan kurikulum dengan tolok ukur pada analisis kritis dapat menjadi bumerang terhadap wajah baru lulusan SDM Indonesia ke depan,” kata Bahauddin.
Kebijakan yang memberi ruang yang cukup luas pada peran-peran masyarakat dan dunia usaha menjadikan dilema baru bagi otonomi pendidikan di masa depan. Peran masyarakat memang penting dan sangat menentukan keberhasilan pendidikan, namun intervensi peran masyarakat yang terlalu dalam dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dapat beresiko menyulitkan capaian standar pendidikan dan menegasikan otonomi dan kapasitas para praktisi pendidikan dalam menjalankan peran dan fungsinya.
Kebijakan pendidikan selayaknya lebih mengapresiasi peran-peran masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan dengan pemenuhan kelayakan fasilitas dan apresiasi kinerja lembaga pendidikan sebagai bentuk tanggungjawab negara sepenuhnya.
Pelibatan dunia usaha diakui penting dalam pendidikan, terutama di bidang pendidikan vokasi, namun penting diatur ambang batas peran dunia usaha agar lembaga pendidikan tidak menjadi semacam pabrik yang berorientasi memenuhi kepentingan dunia usaha semata. Peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan tidak boleh memberi ruang kepada kelompok tertentu yang akan dan bisa memasukkan pendidikan dalam rejim bisnis.
Kebijakan pendidikan yang telah diterapkan mencerminkan cita-cita besar yang inovatif dan transformatif. Tetapi sulit dibayangkan dapat diterapkan di lembaga pendidikan yang berada dalam naungan HISMINU.
Sejumlah indikator yang ada dalam kebijakan pendidikan saat ini, seperti kompetensi guru, apresiasi kinerja dan gaji guru, sarana prasarana, dan metode pembelajaran yang akan diterapkan menjadi tantangan yang berat bagi satuan pendidikan swasta. Apalagi, akses terhadap sumberdaya yang selama ini disediakan pemerintah belum sepenuhnya dapat diakses oleh satuan pendidikan HISMINU yang mayoritas menfasilitasi pendidikan bagi masyarakat miskin, desa, marginal, dan pinggiran.
Kebijakan pendidikan dengan seluruh proses pembangunan pendidikan di dalamnya akan lebih banyak diakses sekolah-sekolah negeri, sehingga disparitas layanan pendidikan yang berbasis negeri dan swasta, serta kota dan daerah 3 T akan semakin lebar dan memprihatinkan.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan di Indonesia melalui satuan pendidikan swasta, baik yang berbasis pesantren maupun tidak, sejatinya menjadi jawaban atas belum mampunya negara memenuhi hak pendidikan bangsa Indonesia.
Peran penting yang telah dilakukan sejak Indonesia belum merdeka dari penjajah ini tampak belum menjadi kesadaran mendasar pada kebijakan pendidikan yang diterapkan. Perhatian negara pada peningkatan kualitas pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan yang diinisiasi dan difasilitasi oleh masyarakat masih sangat rendah dan semakin membuka kesenjangan akses dan layanan pendidikan di tingkat grassroot. (*)